Jumat, 16 Maret 2012

Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah (10 Bagian)

Nabi Muhammad Berniaga (Bagian 2)
Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, pamannya amat sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji.
Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama ‘Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata: “Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin. Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.”
Setelah memikirkan segala ikhtiar, ‘Atiqah pun berkata: “Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya.”
Abu Thalib menyetujui saranan saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan.
‘Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.
Khadijah, tatkala mendengar nama “Muhammad”, ia berfikir dalam hatinya: “Oh… inilah takbir mimpiku sebagaimana yang dita'wilkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir zaman.”
Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya kerana khawatir akan fitnah.
“Baiklah,” ujar Khadijah kepada ‘Atiqah, “saya terima Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan berkatnya atas kita bersama.”. Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang tersudut di kalbunya.
Kemudian ia meneruskan: “Wahai ‘Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi dari biasanya.”
‘Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu.
Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua bersaudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata: “Pergilah ananda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya.”
Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari pekarangan rumah bapa saudaranya, tiba-tibalah ia mencucurkan air mata kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi. 


Kesaksian Seorang Rahib - Tanda Kenabian Muhammad SAW (Bagian 3)
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan: “Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!”
Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya.
Dari mulutnya terucap suara kecil: “Aduhai nasib! Mana gerangan ayahku Abdullah, mana gerangan ibuku Aminah. Kiranyalah mereka menyaksikan nasib anandanya yang miskin yatim piatu ini, yang justru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku.”
Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga mereka berhenti disebuah peristirahatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani.
Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah pohon yang teduh.
Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia terheran-heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat.
Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasati siapa pemilik karamah dari kalangan mereka.
Semua anggota rombongan hadir dalam majelis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah beliau: “Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir di sini?”
Maisarah menjawab: “Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang.”
Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majelis perjamuan.
Ketika Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan.
Dan di saat Muhammad SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki karamah dan keutamaan itu.
Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya: “Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?”
“Dari Makkah”.
“Dari qabilah mana?” tanya sang Rahib.
“Dari Quraisy, tuan!”
“Dari keluarga siapa?”
“Keluarga Bani Hasyim.”
‘Siapa namamu?”
“Namaku, Muhammad.”
Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya mengucapkan: “Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullah.”
Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya: “Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?”
“Tanda apakah yang tuan maksudkan?” tanya Muhammad SAW.
“Silakan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!”
Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan.
“Ya….ya….tertolong, tertolong!” seru Rahib. “Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!”
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan: “Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa’at di akhirat, hai pribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai Nabi rahmat bagi seluruh alam!”
Dengan pengakuan demikian itu, Rahib dari Ahlu-Kitab itu telah menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW dengan resmi menerima wahyu kerasulan dari langit. (to be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar