Kamis, 22 Maret 2012

Obrolan di Teras Pesantren Putri Darul Qur’an

“Pah, kenapa sich ada orang Sirik, Dengki dan Suka ngadu ? Njilat gitu ….” Meluncur deras pertanyaan anak perempuanku yang sedang belajar di tahun pertama program Idaad Pesantren Putri Darul Qur’an pimpinan ustad Yusuf Mansyur.
“Memangnya kenapa ?”, tanyaku ganti bertanya sebelum menjawab pertanyaannya , “Memangnya teman kaka’ ada yang seperti itu ?”, aku lanjutkan pertanyaanku memancingnya untuk bercerita lebih detail lagi.
“Sebel dech pa, di Hujrohku ada anak yang bernama Mawar, nach dia ini suka sekali ngadu-ngadu, mata-matain gitu  ….”, mulai dia bercerita dengan mimik muka yang keliatan sekali kesel.
“Ngadu-ngadu mengenai apa  ?, kesiapa ?, trus apa sich yang dimata-matain ?”, tanyaku balik bertanya dengan beberapa pertanyaan biar lebih detail lagi ia bercerita.
“Gini loch Pah, kemarin tuch ada kejadian, dikamar mandi ada ember yang pecah tapi punya anak dari hujroh lain, yang mecahin nggak tau, tapi ember bekas pecahnya ditaruhnya di kamar mandi yang biasa digunakan ama aku dan temen-temen se hujrohku mandi, nach anak yang punya ini nangis soalnya dia mau nyuci nggak ada embernya trus dia nanya-nanya siapa yang mecahin ?, trus nuduh yang mecahin pasti yang biasanya mandi di kamar mandi situ soalnya ember pecah bekasnya disitu …..”
“Khan temen-temenku nggak terima Pah, trus mereka ngajakin aku kekamar mandi, ngeliat gitu …, sampai disana ech ternyata  embernya  pecah banget, kayaknya ada yang make isinya penuh trus nggak kuat ngangkat jatuh, makanya pecah dibawahnya pa ….”, nyerocos anakku bercerita
“Lach, terus emangnya setelah kaka’ kesana kaka’ ngapain ?, selesai masalahnya ?”, tanyaku ke dia pingin tau apa yang dilakukannya.
“Ya selesai lach….., khan aku kasihan, trus aku ngomong : Ya udach pake emberku ini aja, ntar aku minjem temen yang lain dulu, jawabku begitu”. “Makanya pah, sekarang aku beliin ember lagi heheheeeee” sambil nyengir dia ngomong begitu.

Perlahan aku tarik nafas sambil tersenyum trus aku lanjutkan dengan bertanya, “Trus hubungannya apa dengan orang sirik, dengki dan suka ngadu-ngadu tadi ?” 
“Nach temenku Mawar itu, khan nggak tau kejadiannya gimana, dia cuma dengerin pas temen-temen cerita trus dia lapor ke ustadzah, kayaknya ustadzah ngira aku yang mecahin dech, soalnya kock pandangannya gimana gitu”
“Lach emangnya kaka’ tahu kalo Mawar yang lapor ke ustadzah, khan kaka’ justru yang beresin ?” saya bertanya balik
“Ya tau lach, dulu dach pernah ada kejadiannya kock”
“Aku sedang ngomongin mau bikin baju gamis kembar modelnya seperti yang dibuatin mama, malah temen-temenku minta dijadiin kado ulang tahunku aja, tau-tau besoknya dia nanya :’Zista ustadzah nanya, anti bikin baju gamis kaya gitu biayanya berapa, bikinnya dimana, yang buat modelnya siapa ?’”
“Aku khan bingung Pah, trus aku balik nanya, ‘Loch ustadzah kock tau kalo kita mau bikin gamis samaan ?’, dia ngomong kalo dia yang cerita, nach dari situ aku tau pah berarti dia mata-matain kita kalo di hujroh, makannya kadang-kadang ustadzah nyindir-nyindir gitu kalo ngomong keadaan di hujroh” keliatan sekali kalo agak sebel ekspresi mukanya.

Waduch, dalam hati aku mulai deg-degan dan ngedumel sendiri ternyata di Pesantrenpun ada juga orang-orang berkarakter penjilat walaupun nggak jelas tujuannya apa.
Kalo dikehidupan luar khan jelas gimana perilaku orang-orang yang mempunyai ambisi besar dengan orang yang ambisinya biasa-biasa saja – Astaqfirullah

Perlahan aku bicara, “Biasa itu Ka’ ntar Kaka’ kalo pas udach lulus dari Pesantren bakal nemuin orang-orang model kaya’ gitu, tapi mereka lebih jahat lagi”  jelasku, “Kaka’ yang sabar aja nemuin temen yang kaya’ gitu ntar dia tau sendiri kock kualitas kaka’ seperti apa, biasanya dia seperti itu karena dia iri sama kaka’ ” panjang aku menjelaskannya
“Memangnya Kaka’ jadi apa sich di hujroh ?, kock sampai segitunya temen kaka’ ?” tanyaku.
“Aku nggak jadi apa-apa sich Pah, dia sama aku sama yang lain sama aja, cuma temen-temen itu kalo ada apa-apa senengnya curhat sama aku trus aku nggak pelit, kalo aku ada makanan nggak usah minta aku tawarin temen-temenku, malah pernah beli makanan dimakan berlima hahahahahaha” , sambil ketawa ngakak dia bercerita “Soalnya semua uang jajannya sudah abis, pada nungguin kiriman lagi” lanjutnya bercerita, “Terus aku nggak tau kenapa temen-temen itu sering bantuin aku, kalo pas abis makan mau cuci piring gitu tau-tau ada yang nawarin “Zista mana aku cuciin piring anti”, sambil bercerita dia tertawa hehehehehe.
“Ya… itu Ka’ yang bikin temen kaka’ iri” jelasku, “Tapi aku khan nggak ngapa-ngapain Pah, aku juga nggak minta temen-temen seperti itu ke aku, masa’ aku sich yang disalahin ?” protesnya.
“Nggak ada yang nyalahin kaka’, temen kaka’ itu iri karena kaka’ banyak temennya, trus disayang ama temen-temen yang lain, kenapa dia nggak bisa seperti kaka’ “ begitu jelasku.

“Trus Pah, aku sebel dech ama ukhti Bunga“,  tau–tau dia bercerita begitu sambil menangis emosional.
“Loch kenapa Ka’ ?”, tanyaku penasaran
“Jahat banget dech ukhti Bunga itu, masa’ dia ngelarang-ngelarang Tia, Dinda, Syifa deketan dan ngobrol sama aku”, “Emangnya aku salah apa, padahal aku juga jarang ngobrol deket sama ukhti Bunga” sambil nangis dia bercerita seperti itu.
“Masa’ Pah, dia ngomong gini coba : “Ngapain kamu temenan ama Zista ?, memangnya dia punya hafalan ?, kalo nggak punya hafalan nggak usah ditemenin aja”, kan nggak pantes pah dia ngomong seperti itu, padahal kan dia ukhti harusnya dia jadi penengah dong, kock malah ngelarang-ngelarang gitu…..” sambil nangis sewot dia bercerita.

Sambil tersenyum kecut aku ngomong ama anakku, “Ka’ kamu sudah punya hafalan belum ?”, “Ya sudah lach, memangnya punya hafalan apa nggak,  urusannya dia apa ?” masih sewot dia menjawab
“Banyak nggak hafalannya ? apa aja ? Al Waqiah, Yassin, Ar Rahman atau Al Mulk ?” tanyaku lebih lanjut, “Belum sebanyak itu sich, emang masih beberapa ayat aja….” mulai berkurang isakan tangisnya.
“Kaka’, kaka’ disini ada target untuk menghafal, kalo kaka’ nggak punya hafalan kaka’ akan tertinggal sama temen-temen kaka’” hati-hati aku menjelaskannya takut dia tersinggung.
“Mungkin maksudnya ukhti Bunga baik, biar kaka’ nggak ketinggalan sama temen-temen, terus supaya kaka’ bisa diajak masuk jadi temennya ukhti Bunga yang banyak hafalannya, tapi emang nggak perlu sampai segitunya sich…..” aku menjelaskan sambil mengarahkan dengan hati-hati. Akhirnya dia kembali seperti semula udach nggak nangis lagi.

Sepulang dari menjenguk anakku di pesantren, diperjalanan aku menerawang jauh.
Kira-kira di tempat kerjaku yang sekarang ini ada nggak yach orang yang seperti Mawar dan Bunga, Menguping pembicaraan bahkan mencari tahu kegiatan kita untuk disampaikan ke atasan dengan tendensi bahwa dia menjadi lebih deket dengan atasan atau iri karena tidak menjadi informal leader atau bahkan sengaja ingin menjatuhkan dengan mencari-cari kelemahan kita. Dan melarang orang lain bergaul dengan kita dengan membuat koloni-koloni kecil yang seirama, sejenis bahkan se Genre sebagai bentuk dari penolakan atas kehadiran kita atau takut tersaingi.
Wallahualam bi showab…………….   

Jumat, 16 Maret 2012

Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah (10 Bagian)

Dijamin Masuk Syurga (Bagian 9)
Khadijah r.a mendampingi Muhammad SAW. selama dua puluh enam tahun, yakni enam belas tahun sebelum dilantik menjadi Nabi, dan sepuluh tahun sesudah masa kenabian. Ia isteri tunggal, tak ada duanya, bercerai karena kematian. Tahun wafatnya disebut “Tahun Kesedihan” (‘Aamul Huzni).
Khadijah r.a adalah orang pertama sekali beriman kepada Rasulullah SAW. ketika wahyu pertama turun dari langit. Tidak ada yang mendahuluinya. Ketika Rasulullah SAW menceritakan pengalamannya pada peristiwa turunnya wahyu pertama yang dihantar Jibril ‘alaihissalam, dimana beliau merasa ketakutan dan menggigil menyaksikan bentuk Jibril a.s dalam rupa aslinya, maka Khadijahlah yang pertama dapat mengerti makna peristiwa itu dan menghiburnya, sambil berkata: “Bergembiralah dan tenteramkanlah hatimu. Demi Allah SWT yang menguasai diri Khadijah r.a, engkau ini benar-benar akan menjadi Nabi Pesuruh Allah bagi umat kita.
“Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Bukankah engkau orang yang senantiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan? Bukankah engkau selalu berkata benar? Bukankah engkau senantiasa menyantuni anak yatim piatu, menghormati tetamu dan menghulurkan bantuan kepada setiap orang yang ditimpa kemalangan dan musibah?”
Khadijah r.a membela suaminya dengan harta dan dirinya di dalam menegakkan kalimah tauhid, serta selalu menghiburnya dalam duka derita yang dialaminya dari gangguan kaumnya yang masih ingkar terhadap kebenaran agama Islam, menangkis segala serangan caci maki yang dilancarkan oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan Quraisy.
Layaklah kalau Khadijah r.a mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah SWT yang dihantar oleh malaikat Jibril a.s kepada Rasulullah SAW disertai salam dari Jibril a.s, pribadi untuk disampaikan kepada Khadijah radiallahu ‘anha serta dihiburnya dengan syurga.
Kesetiaan Khadijah r.a diimbangi oleh kecintaan Nabi SAW kepadanya tanpa terbatas, Nabi SAW pernah berkata:
“Wanita yang utama dan yang pertama akan masuk Syurga ialah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW, Maryam binti ‘Imran dan Asyiah binti Muzaahim, isteri Fir’aun”.
Wanita Terbaik (Bagian 10)
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW terhadap pribadi Khadijah r.a ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam bimbang keingkaran; dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak kudapatkan dari isteri-isteri yang lain”.
Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah r.a sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dibangsakan sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW. (End)

Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah (10 Bagian)

Khadijah Menawarkan Diri (Bagian 6)
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” Suaranya ramah, bernada dermawan.
Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya, Muhammad berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Katanya: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”. Kepalanya tertunduk dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban.
“Oh, itukah….! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,” kata Khadijah r.a. “Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”. Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara dan mengandung isyarat: “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diingini oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”. Khadijah tertunduk lalu melanjutkan: “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu”.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawaban, yang lainnya tak tahu apa mau dijawab.
Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada pamannnya: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu “anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”.
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah: “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”.
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius.
“Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah dimaklumi oleh anak pamanmu Waraqah bin Naufah?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan: “Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.”
“Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”, Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah r.a.
“Itu bagus sekali”, kata Abu Thalib, “tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad lebih dahulu.”

Janda Cantik Bermata Jeli (Bagian 7)
Sebelum dijemput bermusyawarah oleh pamannya, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan pribadi Khadijah itu bertanya: “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad SAW menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
“Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
“Siapakah dia?” tanya Muhammad SAW.
“Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berjaya. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah r.a, menceritakan kesediaan Muhammad SAW.
Setelah Muhammad SAW menerima pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah r.a, maka baginda tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan utamanya pula karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya.
Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang berhati baik, cantik, dan bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu. Hadir juga Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempo untuk berunding dengan wanita berkenaan.

Pernikahan Muhammad dengan Khadijah (Bagian 8)
Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah: “Hai anak pamanku, betapa aku akan menolak Muhammad SAW padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”.
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta”, ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah r.a menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar r.a, yang kelak mendapat sebutan “Ash-Shiddiq”, sahabat akrab Muhammad sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawanan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jumat, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad, sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut:
“Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar.
“Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscayalah ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah sama mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat.
“Semoga Allah memberkati pernikahan ini”.
Penyambutan untuk memeriahkan majelis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah r.a membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhai!”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita. (to be continued)

Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah (10 Bagian)

Paderi-paderi Yahudi Gemetar Ketakutan (Bagian 4)
Pasar dibuka beberapa hari lamanya. Berkat Muhammad Al-Amin, Semua jualan laris dengan keuntungan berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah. Kebetulan pada saat itu bertepatan dengan hari raya Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara besar-besaran.
Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton keramaian itu. Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk menyaksikan cara mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang menyebabkan paderi-paderi Yahudi gemetar ketakutan.
Seorang di antara mereka bertanya: “Alamat apakah ini?” Semuanya heran, cemas dan ketakutan.
“Ini berarti ada orang asing yang hadir di sini,” jawab pengurus upacara. “Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya agama Yahudi. Mungkinlah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!”
Abu Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil, dan Maisarah, yang mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan.
Tanpa menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari kejahatan orang-orang Yahudi.

 Muhammad Pulang Ke Makkah (Bagian 5)
Biasanya dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari lagi mendekati Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a, memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara-perkara lain yang menyangkut perjalanan.
Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW: “Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?” Muhammad SAW berkata: “Ya, saya bersedia apabila ditugaskan”.
Pemimpin rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh utusan yang akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun menulis sepucuk surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan kafilah yang disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat memuaskan, dan menceritakan pula tentang pengalaman-pengalaman aneh yang berkaitan dengan diri Muhammad SAW.
Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s. :
“Hai Jibril, singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW! Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia dari sebelah kirinya! Hai awan, teduhilah ia di atas kepalanya!”
Kemudian Allah SWT mendatangkan ngantuk kepadanya sehingga baginda SAW tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempo yang cukup singkat. Saat terbangun, ia heran mendapati dirinya telah berada di pintu masuk kota kelahirannya. Baginda SAW sadar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan kepadanya, lalu bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.
Sementara baginda SAW mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara kebetulan Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar jendela memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad SAW di atas untanya dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak perlahan-lahan di atas kepalanya.
Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian tanpa rombongan, padahal telah dipesannya kepada Maisarah agar menjaganya sebaik-baiknya. Ia bertanya kepada wanita-wanita sahayanya yang duduk di sekitarnya: “Apakah kamu mengenali siapa pengendara yang datang itu?” sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.
Seorang di antara mereka menjawab: “Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!”
Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya: “Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan kumerdekakan bilamana ia telah sampai!”
Tak lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas: “Kuberikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya.”
Muhammad SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari ketua rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah bapa saudaranya setelah melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri. (To be Continued..)

Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah (10 Bagian)

Nabi Muhammad Berniaga (Bagian 2)
Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, pamannya amat sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji.
Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama ‘Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata: “Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin. Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.”
Setelah memikirkan segala ikhtiar, ‘Atiqah pun berkata: “Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya.”
Abu Thalib menyetujui saranan saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan.
‘Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.
Khadijah, tatkala mendengar nama “Muhammad”, ia berfikir dalam hatinya: “Oh… inilah takbir mimpiku sebagaimana yang dita'wilkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir zaman.”
Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya kerana khawatir akan fitnah.
“Baiklah,” ujar Khadijah kepada ‘Atiqah, “saya terima Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan berkatnya atas kita bersama.”. Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang tersudut di kalbunya.
Kemudian ia meneruskan: “Wahai ‘Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi dari biasanya.”
‘Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu.
Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua bersaudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata: “Pergilah ananda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya.”
Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari pekarangan rumah bapa saudaranya, tiba-tibalah ia mencucurkan air mata kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi. 


Kesaksian Seorang Rahib - Tanda Kenabian Muhammad SAW (Bagian 3)
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan: “Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!”
Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya.
Dari mulutnya terucap suara kecil: “Aduhai nasib! Mana gerangan ayahku Abdullah, mana gerangan ibuku Aminah. Kiranyalah mereka menyaksikan nasib anandanya yang miskin yatim piatu ini, yang justru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku.”
Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.
Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga mereka berhenti disebuah peristirahatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani.
Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah pohon yang teduh.
Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia terheran-heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat.
Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasati siapa pemilik karamah dari kalangan mereka.
Semua anggota rombongan hadir dalam majelis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah beliau: “Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir di sini?”
Maisarah menjawab: “Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang.”
Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majelis perjamuan.
Ketika Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan.
Dan di saat Muhammad SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki karamah dan keutamaan itu.
Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya: “Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?”
“Dari Makkah”.
“Dari qabilah mana?” tanya sang Rahib.
“Dari Quraisy, tuan!”
“Dari keluarga siapa?”
“Keluarga Bani Hasyim.”
‘Siapa namamu?”
“Namaku, Muhammad.”
Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya mengucapkan: “Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullah.”
Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya: “Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?”
“Tanda apakah yang tuan maksudkan?” tanya Muhammad SAW.
“Silakan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!”
Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan.
“Ya….ya….tertolong, tertolong!” seru Rahib. “Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!”
Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan: “Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa’at di akhirat, hai pribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai Nabi rahmat bagi seluruh alam!”
Dengan pengakuan demikian itu, Rahib dari Ahlu-Kitab itu telah menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW dengan resmi menerima wahyu kerasulan dari langit. (to be continued)

Kisah Pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah (10 Bagian)

Bermimpi Matahari Turun Kerumahnya (Bagian : 1)
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa  Arab pada umumnya.
Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.
Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya ke semua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang tak luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada anak pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Waraqah berkata: “Takwil dari mimpimu itu ialah bahawa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.”
“Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
“Dari kota Makkah ini!” ujar Waraqah singkat.
“Dari suku mana?”
“Dari suku Quraisy juga.”
Khadijah bertanya lebih jauh: “Dari keluarga mana?”
“Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai anak bapa saudaraku?”
Orang tua itu mempertegas: “Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya.
Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin

Kamis, 15 Maret 2012

6 Tanda Berselingkuh Hati

Jakarta - Menyukai pria lain saat masih menjalin asmara dengan kekasih bisa saja dialami semua orang, termasuk Anda. Hal tersebut sering diartikan sebagai selingkuh hati, yaitu perasaan lain yang mulai ada di hati kita kepada lawan jenis setelah mempunyai komitmen dalam sebuah hubungan. Ketahui tanda-tanda Anda telah berselingkuh hati seperti dilansir Madame Noire, dan bagaimana mengatasi kegalauan perasaan itu. 1. Anda Membenci Kekasih Si Teman Setiap kali teman pria Anda curhat soal wanita yang telah dikencaninya, Anda melihatnya sebagai pertanda buruk. Jika dia membawa seorang wanita saat hang out, Anda tidak ingin tahu lebih banyak tentang wanita yang diajaknya itu. Semua yang dilakukan kekasih si teman membuat Anda terganggu meskipun Anda sadar sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dia perbuat. 2. Anda 'Melihat' Teman Pria Dimana-mana Bukan melihat fisik yang sebenarnya, tapi ketika Anda berbelanja, Anda tiba-tiba ingat barang yang dia perlukan dan berniat membelikannya. Saat makan di restoran, Anda tiba-tiba teringat makanan kesukaannya dan berpikir apakah perlu membelikannya makanan tersebut untuk dibawa pulang. Saat menyukai seseorang, kita biasanya cenderung mengingat dia dimanapun dan selalu ingin berbuat sesuatu yang bisa membantu atau menyenangkan hatinya. Perasaan tersebut tentu saja bagus jika ditujukan untuk kekasih Anda, tapi bukan teman. 3. Curhat Masalah Pribadi Anda tak sungkan membicarakan masalah keluarga, krisis kepribadian yang sedang dialami, mimpi-mimpi atau rasa gundah gulana kepada pria lain. Sebenarnya tidak masalah jika kita ingin curhat masalah pribadi kepada teman pria. Tapi jika Anda merasa lebih nyaman membicarakan semua masalah kepada pria tersebut dibandingkan kekasih sendiri, maka itu bisa menjadi tanda Anda telah berselingkuh hati. 4. Mengeluhkan Kekasih Anda pada Si Teman Wajar saja bila sesekali Anda ingin curhat masalah asmara kepada teman. Tapi jika setiap kali bertengkar Anda selalu membicarakannya hanya dengan satu teman pria, maka Anda telah memposisikan dia sebagai seseorang yang spesial dan --mungkin-- secara tidak sadar Anda ingin memberi 'sinyal' bahwa hubungan dengan kekasih tidak berjalan baik. Anda berharap, sinyal tersebut dapat mendorong dia untuk mendekati Anda. 5. Mencari-cari Alasan Setiap kali ingin pergi untuk bertemu pria lain, Anda seperti harus mencari pembenaran atas apa yang dilakukan. Misalnya, "Dia baru saja putus cinta, jadi dia perlu orang untuk menemani," atau "Kami bertemu hanya untuk merayakan promosi jabatan barunya." Baik itu Anda katakan kepada diri sendiri atau kekasih, hal tersebut merupakan tanda ada pria lain yang telah memasuki hati Anda. 6. Selalu Ingin Mengesankan Dia Saat mengadakan pesta, orang yang Anda harapkan bisa terhibur adalah teman pria tersebut. Ketika semua teman mencicipi kue yang Anda buat, ekspresi yang pertama kali Anda lihat adalah dirinya. Jika teman pria yang Anda suka itu duduk sendirian tanpa melakukan apapun, Anda pun langsung bertanya apa yang dia perlukan. Intinya, dia selalu ada dalam 'radar' Anda dan Anda ingin selalu membuatnya terkesan dengan perlakuan baik. Jika Anda merasakan enam tanda tersebut, ada kemungkinan besar Anda telah selingkuh hati baik itu disadari maupun tidak. Kini pilihan ada di tangan Anda, ingin menghilangkan rasa suka itu dan tetap setiap pada kekasih atau mengakhiri hubungan? Jika memilih yang kedua, harus siap dengan segala konsekuensinya, karena belum tentu pria lain yang sudah membuat Anda berselingkuh hati itu memiliki perasaan yang sama terhadap Anda. Tapi bila hubungan dengan kekasih lebih penting bagi Anda, segera atasi dengan melakukan beberapa